Indah, Tapi
Tidak
“Suara yang begitu indah terdengar, terkadang bagi orang lain suara itu
terdengar seperti gemuruh petir yang menakutkan” (by Wilda)
“Krruuurrkk... krrruuurkkk....
kruuurkk.........”
Terdengar suara yang
begitu merdu nan indah yang terdengar syahdu di depan salah satu ruang kelas.
Yah, itu adalah suara seekor burung merpati putih yang di bawa oleh salah
seorang guru IPA di sekolah itu. Rupanya yang begitu cantik, warna yang putih,
dan bulunya yang halus, menjadikan siapa saja ingin memilikinya. Tetapi sayang,
burung merpati itu telah dimiliki oleh seseorang yang membawanya. Pemilik
burung merpati itu bernama Bapak Zainal. Guru yang terkenal dengan kebaikan dan
kealimannya. Tetapi, disisi lain beliau juga terkenal dengan sifat yang tidak
mau kalah. Meskipun itu hanya masalah perdebatan yang sangat kecil. Hal apapun
yang tidak sependapat dengannya, ia langsung angkat suara dan mengeluarkan
argumen-argumennya, terutama permasalahan agama.
Jam menunjukkan pukul
setengah tujuh tepat. Lima belas menit lagi, waktu belajar akan dimulai. Pak
Zainal dengan buru-burunya ingin melihat dan memberi makan merpati kesayangannya
itu. Merpati itu memang sengaja tidak ia bawa pulang karena merpati itu akan ia
gunakan sebagai contoh untuk mata pelajaran IPA kelas 5 SD.
Sesampainya di tempat
itu, Pak Zainal yang tadinya tersenyum begitu manis, berubah drastis karena ia hanya
mendapati sangkar merpatinya itu. Ia sangat kaget dan tidak menyangka jika
burung merpati itu akan hilang di tempat para anak-anak kecil menuntut ilmu.
“Pak Zain”, celetuk
suara kecil nan imut yang mengagetkannya. Suara itu ternyata datang dari anak
kelas 1 SD yang tidak sengaja melihatnya di tempat itu. “Pak Zain. Pak Zain mau
kasih makan burung yang bagus kemarin ya?”, tambah anak itu.
Kemudian, guru dan
murid kecilnya itu berjalan menyusuri koridor-koridor untuk menuju ruang kelas.
“Dinda tahu tidak
dimana burung merpati kesayangan bapak itu? Ini tadi bapak mau beri makan. Tapi
kok burung merpatinya gak ada. Hilang”, tanya guru itu.
“Loh. Kok bisa hilang
bapak?”. “Oh iya. Kemarin Dinda lihat ada anak kelas 6 lihat-lihat burung bapak
itu. Kakak yang suka main bola itu bapak”.
“Iya kah?”. “Mas Anton
maksudnya?”, tanya guru itu (kemudian menjelaskan ciri-cirinya).
***
Bel berbunyi pertanda
pergantian jam pelajaran. Pak Zainal akhirnya memanggil Anton anak kelas 6 SD
itu. Dengan detak jantung yang begitu keras dan dengan beribu pertanyaan yang
sedang berjalan-jalan dipikirannya, ia menelusuri koridor-koridor untuk menuju
keke tempat dimana ia nanti akan mendapatkan semua jawabannya.
“Anton?”, tanya sorang
guru.
“Iya Pak.”
“Sini kamu. Duduk!
Langsung saja ya. Saya memanggil kamu disini untuk menanyakan burung merpati
putih yang kemarin saya letakkan di Green House,di sebelahnya tanaman
kangkung. Kamu tau kan dimana dia sekarang? Jawab dengan jujur ya! Kan kmarin
kamu lihat-lihat sebelum pulang.”, lantang suara Pak Zainal.
“Maaf Bapak. Memang
benar saya kemarin sempat lihat-lihat burung merpati itu. Tapi, saya tidak
tahu.”
“Jangan alasan kamu!
Jelas-jelas kamu kan yang terakhir melihatnya sebelum pulang.”, sahut guru itu.
Guru itu dengan
emosinya terus dan terus menanyakan keberadaan burung merpati kesayangannya
itu. Tapi, lagi-lagi Anton menolaknya. Dia belum sempat menjawab dan
menjelaskan semuanya, tetapi guru itu terus melemparnya dengan beribu
pertanyaan. 40 menit berlalu... Kemudian..
“Yasudah. Kalau kamu
tetap tidak mau mengaku, saya akan memanggil ketua RT kesini dan saya juga akan
menulis surat untuk kedua orangtuamu. Saya kasih kamu waktu sampai jam
istirahat.”, tegas Pak Zain.
***
“Krriiiiinggg
Krriiiingggg....” Jam istirahat telah tiba. Di ruang kantor...
“Gimana Anton? Sudah
tau belum dimana burung merpati kesayangan Bapak itu?”
“Maaf Pak. Saya
benar-benar tidak tahu”, jawab tegas Anton.
Mendengar jawaban
murid kelas 6-nya, bapak guru ini semakin memuncak emosinya. Perkataannya
semakin menjadi-jadi. Akhirnya,
“Yasudah kalau gitu.
Kamu tunggu disini ya.”
Dengan perasaan takut
yang begitu mendalam, Anton tetap setia menunggu di ruang kantor itu hingga
pukul 11 siang. Akhirnya, datanglah seseorang yang tak asing baginya. Yah, itu
adalah Pak Jamil, seorang kepala RT di desa itu. Kemudian, Pak Jamil meminta
agar ia ditinggalkan berdua dengan Anton.
“Anton. Kenapa kamu
mencuri burung merpati Pak Zain? Kamu tau? Burung merpati itu sangat mahal
harganya. Burung itu dibeli sewaktu beliau penataran di Papua. Cepat
kembalikan! Kalau kamu gak mau kembalikan, saya akan membawa kamu ke kantor
polisi dan kamu akan dipenjara seumur hidup kamu. Dan orangtua kamu membayar 10
juta. Mau kamu? Cepat kembalikan!”
Seorang Pak RT itu
sangat melebih-lebihkan perkataannya. Sehingga hal itu membuat Anton menjadi
sangat ketakutan, dan memikirkan dua kali lipat untuk mengakui yang belum tentu
itu adalah kesalahannya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa karena ia merasa
sangat lapar dan lelah, ia berkata bahwa dialah yang mencuri burung merpati
putih kesayangan guru itu.
Kemudian, Pak Jamil
merasa bangga karena ia merasa bahwa ialah yang membuat Anton mengakui
perbuatannya itu. Kemudian, Pak Zainal dengan emosinya yang sangat memuncak,
memberi hukuman 6 kali pukulan rotan tepat di telapak tangannya. Pukulan itu
juga harus disaksikan semua para siswa di sekolahnya.
“Plak... Plak...
Plak... (suara pukulan rotan di telapak tangan Anton)”
Tiga pukulan
terlewatkan. Tapi, dengan rasa malu dan menetesnya air mata, seolah-olah menghentikan
suara pukulan itu. Anton memohon agar sisa hukuman pukulan itu di lanjutkan
besok, karena dia merasa sangat lemas dan tidak kuat karena semenjak pagi,
perut Anton belum terisi secuil makanan pun. Akhhirnya, Pak Zainal mengiyakan
permohonan itu.
***
Keesokan harinya... (Di
kelas 4-C)
Pak Zainal mengajar
mata pelajaran IPA kelas 4. Disaat ia mengabsen para siswanya, ada satu siswa
yang tidak bisa mengikuti pelajarannya hari itu. Namanya Fikri. Kemudian, guru
itu bertanya alasan siswa itu tidak masuk sekolah.
“Ya Pak Zhain. Dia kan
yang kemarin ambil burung merpati putih yang Bapak bawa itu. dan sekarang dia
gak masuk karena katanya dia pengen punya merpati itu”, celetuk anak yang duduk
di barisan paling belakang.
“Astaghfirullahaladzim.
Ya Allah. Apalagi ini?” (tanya dalam hati guru itu)
Dengan perasaan yang
bercampur aduk, guru itu terdiam seketika. Terlintas perasaan yang sangat
bersalah kepada anak yang dia beri
hukuman di kala itu. Teteapi, di sisi lain guru itu belum percaya betul jika
Fikri adalah pencurinya. Akhirnya, guru IPA itu memutuskan untuk pergi kerumah
Fikri untuk mengecek langsung kebenaran itu sewaktu jam berakhirnya pelajaran.
Saat berjalan menuju
ke ruang kantor, guru itu melihat seseorang yang berdiri di depan ruangannya.
Ia tertunduk sembari menatap kearah kedua telapak tangannya yang memerah akibat
goresan-goresan rotan. Ternyata, anak itu adalah tempat dimana guru itu meluapkan
emosinya. Karena guru IPA itu merasa sangat bersalah, ia buru-buru masuk ke
ruangannya tanpa menatap wajah anak itu dan tanpa sehelai katapun yang terucap
dari bibir guru itu.
Dengan keadaan seperti
itu, Anton memunyai pertanyaan yang sangat besar di benaknya. “Apa lagi
kesalahanku? Kenapa Pak Zainal menjadi seperti itu? Kenapa....? dan
Kenapa...??” Setiap hari ia selalu menunggu didepan ruangan kantor guru
itu. tetapi, respon yang diberikan guru itu sama. Tidak menatap mukanya, dan
terdiam.
***
Beberapa hari
kemudian...
“Anton. Main yuk!
Ngapain kamu disitu setiap hari?”, ajak teman kelasnya.
“Kan hukumanku yang
kemarin belum selesai. Jadi aku harus menyelesaikannya. Aku sudah janji”
“Loh. Kan kamu bukan
pencurinya. Ngapain dihukum? Ayo main saja”.
Akhirnya permasalahan
itu tidak ada siapa yang berbicara. Baik Pak RT ataupun Bapak Guru itu. Tetapi,
semua siswa dalam sekolah itu sudah tau siapa yang sebenarnya mencuri. Baik Pak
Guru ataupun Pak RT itu pergi tanpa meminta maaf. Pak Guru itu malu karena dia
sudah melakukan kesalahan yang besar kepada anak yang tidak bersalah. Sedangkan
Pak RT merasa besalah karena dia tidak memberi kesempatan anak itu berbicara
dan menjelaskan, dan Pak RT itu tidak percaya kepada perkataan anak kecil itu.
Pak RT itu juga berpikir bahwa kenapa dia lebih berat kepada orang yang di
anggapnya lebih dewas dan tau segalanya, disamping itu dia mempunyai posisi
yang lebih atas darpipada anak kecil itu. Pak RT juga merasa bersalah kenapa
dia tidak adil? Padahal dia adalah pemimpin yang seharusnya tidak seperti itu.
******
(Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada persamaan nama,
tempat, atau yang lainnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Cerita itu saya tulis sebenarnya untuk mengomentari
politik dan hukum yang berada di Indonesia. Semua dalam cerpen itu mempunyai
makna tersendiri. Burung itu sebenarnya simbol yang mempunyai arti ‘politik’ di Indonesia. Pak RT adalah simbol dari ‘hukum’ yang ada di Indonesia. Pak Guru itu yang berarti ‘orang
yang tergolong dari kelas atas’ (seperti pengusaha, pemerintahan, atau bahakan
artis), dan Anton itu yang mempunyai arti ‘rakyat miskin/jelata’, atau
orang-orang kelas menengah ke bawah (petani, buruh, dsb). Pak Guru menang dalam
‘meyakinkan’ Pak RT dan Pak RT itu tidak percaya secuil pun kepada Anton
(murid), bahkan ia tidak memberi waktu untuk Anton menjelaskan. Yang berarti hanya orang-orang kelas atas yang bisa ‘memenangkan’
hukum di Indonesia. Hukuman di Indonesia ini sangat menyedihkan. Hukuman yang
sebenarnya itu hanya untuk rakyat kalangan menengah ke bawah, dan mereka yang
tergolong orang-orang kelas atas bisa melakukan apa pun untuk hukum, bahkan
mereka bisa membeli hukuman itu.)
by: Wilda Norma Y
Maaf. Saya masih pemula .hehe